'Kisah ini hanya fiktif belaka, jika ada kesamaan nama dan tempat itu tidak di sengaja.'
Aku sering melihatnya dari jendela kamar saat dia berjalan melawati rumahku. Setiap kali kami berpapasan dia tak pernah menyapaku, aku pun tak menyapanya. Bukan karna aku sombong, tapi aku agak takut padanya. Aku dengar dari tetangga, dia suka keluar malam untuk balapan motor, dan gosipnya dia pemakai, aku tidak tau apa berita itu benar atau tidak, aku tidak pernah berniat bertanya padanya. Saat sore hari aku sering duduk di taman kompleks rumah, dan aku pun sering melihatnya keluar rumah naik motor besarnya. Kami tetangga, walaupun rumah kami tidak bersebelahan. Kadang aku merasa dia suka melihatku saat aku duduk di taman. Walaupun aku tidak pernah memergokinya. Sore ini untuk pertama kalinya, aku melihatnya duduk di taman tempat biasa aku duduk. Aku tidak tau kenapa dia tiba-tiba duduk di sana.
Hari ini sama seperti kemarin, aku melihatnya lagi duduk di taman di tempat biasa aku duduk. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke taman. Aku tidak rela dia duduk di bangku favoritku, walaupun bangku itu bukan milikku, tetap saja aku merasa bangku itu sudah menjadi milikku, karna seringnya aku duduk di sana. Bangku itu berada di bawah pohon besar, dan dari sana aku bisa melihat anak-anak yang sedang bermain.
Ini hari ketiga aku melihatnya duduk di taman. Dia masih duduk di bangku favoritku. Aku tidak mengerti kenapa dia tidak duduk di bangku lain, kenapa harus di bangku favoritku? Aku menunggunya pergi. Tapi sampai matahari terbenam pun, dia belum pergi.
Hari ini, tepat seminggu sudah aku melihatnya di taman. Dia masih di sana, di bangku favoritku. Dengan kesal aku pergi ke taman. Aku tidak peduli kalau di ada di sana, itu bangkuku, jadi aku berhak duduk di sana. Aku duduk di pinggir bangku yang berlainan dengannya. Aku melihatnya sedang menunduk, mungkin dia sedang tidur. Aku harap begitu, karna aku tidak ingin di ganggunya. Seperti biasa saat aku sedang duduk di bangku favoritku, aku menatap anak-anak yang sedang bermain di taman. Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang, aku menengok.
“Apa?” tanyaku.
“Sekarang jam berapa?” tanyanya.
“Kau bertanya pada siapa? Aku?” aku tidak yakin apakah dia bertanya padaku atau tidak, karna sebelumnya kami tidak pernah bicara.
“Adakah orang lain yang duduk di sini selain kau dan aku?” tanyanya lagi.
“Tidak,” jawabku.
“Kalau begitu aku bertanya padamu.”
“Oh.. Sekarang jam setengah lima,” ucapku sambil melirik jam tangan yang kupakai.
Hening, tak ada yang bicara. Aku kembali menatap anak-anak yang sedang bermain. Sepertinya makin banyak anak-anak yang bermain di taman. Dan sekarang mereka tidak sendiri, ada pengasuh mereka yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Kau orang yang sering duduk di sini?” tiba-tiba dia bertanya padaku.
“Hah? Apa?” aku tidak mendengar jelas apa pertanyaannya.
“Kau orang yang sering duduk di sini? Di bangku ini?” tanyanya lagi.
“Ya, benar. Memangnya kenapa?” sudah kuduga, dia pasti tidak mengenalku. Buktinya saat dia bertanya tadi dia tidak menyebut namaku.
“Sepertinya kau sudah lama tidak ke sini. Hmm.. Seminggu, benar tidak?” ya ampun, apakah dia menghitung berapa hari aku tidak datang ke taman?
“Mungkin, aku tidak tau. Aku tidak menghitungnya.” Ucapku sambil tetap menatap ke depan.
“Kenapa tidak pernah datang lagi? Sibuk?”
“Begitulah.” Jawabku. Aku meliriknya, aku heran dengan sikapnya. Apakah dia tidak capek menunduk terus? Aku tidak berani menatapnya lama-lama, aku tidak ingin dia memergoki ku sedang menatapnya.
Setelah itu tidak ada percakapan lagi di antara kami. Hari semakin sore, matahari mulai terbenam. Aku meliriknya, dia sudah tidak menunduk lagi, dia menatap kedepan, tapi sepertinya dia tidak sedang menatap ke depan, karna matanya terpejam. “Kenapa?” tiba-tiba dia bertanya padaku.
Aku langsung memalingkan wajah, “Tidak, tidak kenapa-kenapa.” Apakah dia sadar aku sedang menatapanya?
Aku menatap langit, sepertinya sudah waktunya aku pulang. Taman sudah sepi. Aku meliriknya sekilas, sepertinya dia belum mau pulang. “Kau tidak pulang?” aku bertanya padanya.
“Belum. Memangnya di sini sudah gelap?”
“Belum. Tapi sebentar lagi gelap. Lagipula di sini sudah sepi.”
“Kalau kau ingin pulang, pulang saja. Aku masih ingin menikmati kegelapan. Aku ingin bersahabat dengan kegelapan.”
Aku tidak mengerti ucapannya. Apa maksudnya? Aku menghela nafas, sudahlah aku tidak peduli. Kalau dia masih ingin di sini silahkan saja. Aku melangkah meninggalkan taman.
“Kalau boleh aku tidak ingin bersahabat dengan kegelapan.” Sayup-sayup aku mendengarnya. Apakah dia yang mengatakannya? Aku tidak tau.
# # #
“Lia, apakah hari sudah gelap?”
“Lia.. Lia..”
Sepertinya ada yang memanggilku. Aku menengok “Hah? Apa? Kau barusan bicara padaku?”
“Kau sedang melamun ya? Apa yang kau pikirkan?” dia tersenyum padaku.
“Tidak, aku tidak melamun. Aku hanya sedang mengingat sesuatu.” Aku suka saat dia tersenyum padaku. Membuatku merasa dia baik-baik saja.
“Hmm.. Kau ingat pertemuan pertama kita, di taman ini? Mungkin bukan pertemuan pertama, lebih tepatnya pembicaraan kita yang pertama. Rasanya sudah lama sekali sejak saat itu. Sudah berapa lama? Setahun?” Kadang aku merasa dia seperti bisa membaca pikiranku, seperti saat ini.
“Ya, aku ingat. Hal yang sangat mengejutkan, tiba-tiba kau berbiacara padaku, padahal sebelumnya kita tidak pernah saling menyapa.” Sudah satu tahun sejak pembicaraan pertama kami di taman ini. Sejak saat itu, kami sering bicara di sini, di bangku favoritku. Bangku ini seperti menjadi tempat milik kami, bukan milikku saja.
Aku menatapnya. Aku tidak tau, apakah aku harus merasa kasihan padanya atau tidak. Dia tidak mau aku merasa kasihan padanya, karna itu membuatnya kesal, di kasihani adalah yang sangat di bencinya. Tapi aku tidak bisa merasa tidak kasihan, aku peduli padanya, aku juga ingin melihatnya sebagai laki-laki yang normal. Tapi sulit rasanya melihatnya sebagai laki-laki normal, dengan kenyataan seperti ini, dengan ke cacatannya.
Ku pejamkan mata dan ku menerawang jauh, semua ini seperti mimpi, aku dapat melihat semua yang telah terjadi selama satu tahun ini seperti ada di depan mataku, semuanya berlalu dengan cepat, ada hal yang ingin ku ingat, ada juga hal yang ingin ku simpan rapat di sudut hati, jika bisa ku ingin menghapusnya dari ingatan ku.
“Banyak hal yang sudah terjadi selama satu tahun ini. Aku senang karna kau masih mau duduk di samping ku, mau mendengarkan aku, mau menemaniku. Aku bukan orang baik, dan aku bukan orang normal. Kadang aku heran kenapa kau masih mau menemaniku? Aku tidak pernah berharap suara ku di dengar orang lain, memangnya aku ini siapa? Siapa yang mau mendengarkan orang yang cacat seperti ku? Aku memang pesimis, jangan pernah menasehati ku tentang hal itu. Aku lebih tau rasanya pustus asa di banding kau.” Suaranya bergetar saat dia bicara, pasti banyak hal yang ingin di katakannya tapi tidak ia katakan. Aku kesal dengan ucapannya. Apakah hanya dia saja yang pernah merasa pesimis dan putus asa, aku yakin semua orang di dunia ini pasti pernah merasakannya.
“Aku memang tidak ingin menasehatimu, terserah kau saja. Aku malas berdebat denganmu.” Aku memalingkan wajah. Aku menarik nafas dan menghembuskannya, berusaha membuat diriku tenang. Aku malas berdebat dengan orang lain di saat diriku sedang kesal.
Hari sudah gelap, sebentar lagi malam tiba. Aku bangkit berdiri. “Sudah gelap, aku mau pulang. Kau masih mau di sini? Masih mau mencoba bersahabat dengan kegelapan?”
“Ya, aku masih mau di sini, aku masih ingin mencoba bersahabat dengan kegelapan. Kalau kau mau pulang, pulang saja.”
“Sampai kapan kau mau membenci kegelapan? Padahal kegelapan yang selalu menemanimu.” Dia diam tapi aku yakin dia kesal dengan ucapanku. Aku tidak peduli, walaupun aku kasihan padanya, tapi kadang aku juga benci padanya, benci pada sikapnya yang lari dari kenyataan. Walaupun sakit, cobalah untuk menerima kenyataan. “Selama kau masih lari, kau tidak bisa melihat apapun.”
“Memangnya apa yang bisa aku lihat? Kegelapan? Jangan jadi orang munafik dan jangan sok menasehatiku.”
“Banyak hal yang dapat kau lihat, tanpa matamu kau dapat melihat dunia. Bukan hanya kau yang tak bisa melihat, banyak orang di dunia ini lahir bersama kegelapan, namun mereka masih bisa melihat dunia, lewat cara mereka sendiri. Semuanya tergantung padamu. Menerima kegelapan itu atau terus membencinya.” Aku meninggalkannya dalam kegelapan malam.
# # #
Malam sudah semakin larut, namun belum kurasakan rasa kantuk datang. Sudah beberapa kali kucoba memejamkan mata, namun aku masih tetap terjaga. Kulirik jam dinding yang tergantung dikamar, jam 23.17. aneh, tidak biasanya aku masih terjaga hingga selarut ini. Kutatap langit-langit kamar, putih. Hanya warna putih yang kulihat. Aku termenung, pikiranku teringat kejadian sore tadi. Mungkin ucapanku sore tadi terlalu kejam, siapa pun yang kehilangan penglihatannya secara tiba-tiba pasti sangat sedih dan shock. Namun, kita juga tidak bisa pasrah pada keadaan, karena banyak orang yang kehilangan penglihataannya namun bisa bangkit dan sukses. Tapi jika kita tidak mengalaminya sendiri, tidak akan tau bagaimana rasanya.
Kadang aku berfikir, jika aku yang kehilangan penglihatanku apa aku bisa menerima keadaan? Apa aku akan mencoba untuk lari dari kenyataan? Mungkinkah aku akan lebih memilih mati daripada hidup tanpa bisa melihat? Apakah aku sanggup bertahan hidup seperti itu? Sampai kapan? Aku tak tau. Apapun bisa terjadi secara tiba-tiba jika aku tak bisa melihat. Mungkin aku akan lari dan menyalahkan keadaan. Orang-orang bilang hidup itu kejam, namun Dia tidak akan memberi cobaan yang tidak bisa ditanggung hamba-Nya.
Jadi walaupun Rae deperesi karena tak bisa melihat, walaupun dia membenci kenyataan dan menyalahkan keadaan, dia masih bisa menanggungnya. Masih bisa bertahan. Lalu bagaimana dengnanku? Apa aku bisa?
Hentikan! Pikiranku sudah ngelantur kemana-mana. Aku tak bisa dan tak ingin membayangkan jika aku tak bisa melihat lagi. Aku coba memejamkan mata, hitam pekat yang kulihat. Aku membuka mata, pikirankumasih terbayang dengan kemungkinan yang terjadi denganku jika aku kehilangan penglihatan. Aku memejamkan mata, mencoba mengenyahkan pikiran-pikran yang mengganggu. Aku membaca doa berharap aku segera terlelap.
# # #
“Kamu nggak sekolah? Ini sudah siang, cepet bangun. Sudah mau jam 5,” mama menepuk badanku berusaha membangunkanku.
“Cepet bangun nanti kamu kesiangan.” Aku menggeliat, berusaha membuka mata. Perlahan kubuka mata, kulirik jam dinding di kamar, jam 04.40. Belum jam lima, sepeluh menit lagi deh, pikirku.
“Lia, kamu mau shalat jam berapa? Emang kamu nggak sekolah?” Mama menarik selimutku.
“Hari ini hari sabtu, ma. Aku nggak sekolah.” Kupenjamkan mata, berusaha tidur kembali.
“Lia! Mama hitung sampai sepuluh, kalau kamu nggak bangun, mama siram kamu!”
“1, 2, 3, 4, 5, 6,7, 8...” aku segera bangun, namun belum beranjak ke kemar mandi.
“Lia!” aku segera bangkit berdiri dan masuk kamar mandi.
# # #
Suaru tv yang pertama kali kudengar saat aku turun ke bawah, ke ruang keluarga. Rumahku tingkat dua, kamarku dan adikku berada dilantai dua, sedangkan orangtuaku kamarnya dibawah. Ruang keluarga di rumah ini menyatu dengan dapur dan ruang makan. Ku lihat mama sedang memasak di dapur. Aku menghampiri papa yang sedang menonton tv.
“Kamu sudah shalat?” papa melirik ke arahku sekilas.
“Sudah, pa.”
“Sekolah kamu gimana?”
“Baik-baik aja.”
“Hmmm....”
Kaku, itulah yang kurasakan setiap kali berbicara dengan papa. Papa termasuk orang yang kaku. Diam, tidak banyak bicara, sibuk bekerja, mungkin karena itulah biasanya obrolan diantara kami hanya obrolan basa-basi, lagipula aku tidak dekat dengan papa. Rasanya aneh saja jika harus memulai pembicaraan dengan papa.
“Lia, tahun ini usiamu berapa?”
“Tujuh belas, pa.” Lihatlah, bahkan papa tidak hafal usia anaknya. Inilah papaku.
“Berarti sudah kelas tiga ya?”
“Iya, pa.” Mungkin karena kami sama-sama kaku, karena itu tak banyak obrolan diantara kami. Aku menghela nafas.
“Lia, kamu sudah besar, sudah kelas tiga SMA, tidak lama lagi kamu kuliah. Sudah seharusnya kamu bisa membedakan yang baik dan buruk, sudah bisa bersikap baik, sudah bisa bijak memilih teman pergaulan.” Aku diam mendengarkan. Aku tidak tau apa yang sebenarnya ingin Papa katakan.
Aku melirik Papa yang matanya tetap tertuju ke tv. Seperti inikah komunikasi antara ayah dan anak? Bukankan saat komunikasi seharusnya saling menatap? Aku menghela nafas. Tiba-tiba Papa menengok ke arahku. Kami saling bertatapan. Rasanya aneh, ada rasa senang, sedih, semuanya bercampur. Senang karena papa menatapku saat kami bicara dan sedih karena mata itu menatapku seperti ada beban berat yang harus di tanggungnya. Aku menundukkan kepala, tak berani menatap Papa.
“Papa cuma minta sama kamu dan adikmu, kalian sudah besar, pergaulan harus dijaga. Kalian itu wanita, kalau ada apa-apa dengan kalian Papa dan Mama juga akan menanggung bebannya. Papa tidak ingin kamu menyesal nantinya. Jaga pergaulan kamu, jangan keluar malam, kamu masih muda belum saatnya dekat dengan laki-laki, berteman saja boleh, tapi jangan lebih dari itu. Papa tidak melarang kamu bergaul, tapi tolong hati-hati dan pilih temang yang baik.” Papa diam, suaranya terasa berat. Rasanya aku ingin menangis, Papa tidak pernah meminta apapun dariku. Aku diam, tetap menundukkan kepala.
“Usiamu sebentar lagi tujuh belas tahun. kamu ini seorang kakak, seorang kakak akan menjadi contoh bagi adiknya. Kalau kamu bisa memberikan contoh yang baik, adikmu juga akan mencontohnya. Karena itu, Papa harap mulai sekarang kamu bisa bersikap dewasa dalam hal apapun, dalam pergaulan, pendidikan, kehidupan sehari-hari dan yang lainnya. Lia?”
Aku mendongak menatap Papa. Papa sedang menatapku, “Iya, Pa.” Aku menatap Papa, kemudian menundukkan kepala.
“Papa dan Mama menyekolahkan kamu dan adikmu agar saat kalian dewasa kalian punya bekal hidup. Papa harap, Papa bisa menyekolahkan kalian sampai kalian S2 nanti. Kalau Papa dan Mama sudah tua, tidak ada lagi orang yang akan mebantu kalian, karena itu selama Papa dan Mama masih mampu menyekolahkan kalian, sekolahlah yang tinggi, kamu juga harus serius sekolah. Mencari uang tidak mudah sekarang.” Papa menghela nafas, masih tetap menatapku, membuatku tak berkutik.
“Papa bicara seperti ini bukan berati Papa memaksamu sekolah sampai S2, atau harus berprestasi di sekolah. Yang Papa harapkan kamu serius belajar, tidak malas-malasan. Saat ini banyak orang yang sarjana S1, tapi banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan, kalau kamu bisa S2, kamu punya sesuatu yang lebih dari mereka. Jangan jadikan ini beban, tapi jadikan ini semangat agar kamu bisa berbuat yang terbaik. Papa tau ini berat, tapi tidak ada kesuksesan tanpa ada usaha dan kerja keras. Papa percaya kamu pasti bisa.” Papa menghela nafas panjang, seperti beban berat sudah terangkat dari pundaknya. Papa bangkit kemudian pergi.
Rasanya kini ada beban yang menghimpit, membuat sesak. Tidak biasanya Papa bicara seperti ini, apa karena hal itu? Aku mengerti bila Papa berharap banyak padaku, tapi tetap saja rasanya berat sekali, seperti ada beban dipundak. Aku berharap semoga bisa memenuhi keinginan orang tuaku, dan masalah itu cepat selesai. Semoga mereka tidak marah padaku karena hal itu. Aku hanya bisa berharap. Yah, semoga saja.
# # #
“Kak, lagi ngeliatin apa sih? Kok serius banget?” tiba-tiba adikku, Nadia sudah duduk di sampingku. Aku sedang duduk dihalaman belakang rumah yang dipenuhi dengan tanamanan-tanaman Mama.
Aku menongek kearahnya, menatapnya kesal, “Lagi mikir. Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa. Lagi mikir apa sih, kak? Bagi-bagi dong.”
“Kamu tuh gimana sih, mana bisa pikiran dibagi-bagi.” Aku mencoba mengalihkan pandangan. Memandang tanaman yang berada didepanku.
“Maksud aku tuh kak, cerita-cerita dong. Kali aja aku bisa kasih pendapat. Kakak tuh gimana sih, masa pinteran aku daripada kakak.”
Aku menatapnya kesal. Ingin sekali aku memukul kepalanya dengan bantal kursi. Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Kenapa sih kak, menghela nafas gitu? Kepanasan? Mau aku kipasin?”
Aku benar-benar kesal. Aku memolotinya. “Bisa nggak kamu diam?”
“Nggak bisa.”
Aku tak tau apa yang harus kulakukan agar adikku ini diam. Nadia anak yang tak bisa diam, dia akan selalu mengomentari hal apapun yang ingin dikomentarinya, tidak peduli tempat, waktu dan suasana saat itu.
“Kak...”
“Hmm...”
“Lagi mikirin dia ya?” Nadia memainkan bantalan kursi yang dipeluknya.
Aku menatapnya tak mengerti, “Mikirin siapa?”
“Siapa lagi? Soulmate kakak. Orang yang suka duduk-duduk ditaman bareng sama kakak. Lagi mikirin dia kan? Ngapain juga dipikirin?” ada nada ketus dalam ucapannya.
“Sok tau kamu, dia bukan soulmate kakak.”
“Kakak suka sama dia?”
Aku tak mengerti apa yang ada dipikiran anak kelas satu SMA ini. “Enggak, kita cuma teman.”
“Aku nggak ngerti kenapa kakak bisa duduk-duduk di taman bareng sama dia selama setahun ini. Hujan, badai, terik sekalipun kakak nggak pernah absen tuh.”
“Aku nggak pernah duduk di taman saat hujan apalagi badai.” aku tak segila itu, duduk di bangku taman yang tak berpayung di bawah pohon besar saat hujan dan bagai. Aku belum mau mati hangus terbakar.
“Terus kenapa kakak mau duduk di sana sama dia selama setahun ini? Kakak kasihan sama dia, simpati atau kakak memang suka dia? Nggak mungkin kakak mau nemenin dia ngobrol selama ini tanpa ada perasaan apapun.”
Kasihankan aku padanya? Simpati? Atau apakah menyukainya? Mungkin lebih tepat jika aku merasa kasihan dan simpati padanya, walaupun banyak orang yang tak percaya padanya, tapi aku yakin dia sudah berubah. Yakin? Mungkinn lebih tepat jika aku mencoba merasa yakin. Yah, mencoba. Selalu ada yang pertama kali bukan?
“Kak, bukannya aku mau ikut campur, tapi aku nggak mau kalau kakak terpengaruh sama dia. Kakak tau kan reputasi dia, dia bukan orang baik, kak. Makanya mama nggak setuju kalau kakak terlalu dekat sama dia.”
Aku tau sulit untuk merubah pandangan seseorang, tapi semua orang bisa berubah. “Nad, kakak tau dia dulu bukan orang baik, tapi sekarang keadaannya sudah berubah. Dia kehilangan penglihatannya, dia butuh teman.”
“Tapi orangnya nggak harus kakak, kan. Dia punya banyak temen, kenapa nggak mereka aja yang menemani dia, kenapa harus kakak. Kakak tuh baru kenal dia, bagaimana kalau dia macam-macam. Kita kan nggak tau.”
“Kamu bisa liat sendiri, apakah ada orang yang menemani dia selain kakak? Nggak ada. Mungkin dia dulu bukan orang baik, tapi semua orang bisa berubah. Dia juga bisa berubah. Apa salah kalau kakak berteman sama dia? Kakak cuma ingin menyemangati dia. Kalau bukan kita Nad, siapa lagi yang akan menyemangati dia. Dia tetangga kita, sudah seharusnya kita bantu.” Aku mengerti kenapa Nadia seperti ini, sama seperti Mama, melarangku terlalu dekat dengan Rae. Aku mengerti mereka menghawatirkanku, tapi tak perlu seperti ini juga.
“Kak, yang namanya berubah itu nggak gampang, butuh proses dan waktu. Memangnya kakak tau dari mana kalau dia sudah berubah? Kakak liat perubahan dia? Bagaimana kakak tau dia sudah berubah apa belum, kalau kakak baru mengenalnya. Waktu satu tahun untuk mengenal seseorang memang bukan waktu yang sebentar, kak. Tapi bisa ajakan dia membohongi kakak, didepan kakak pura-pura baik.”
“Nad, udahlah.”
“Kak, aku ngomong kaya gini demi kebaikan kakak. Kita nggak kenal dia, kita nggak tau kayak apa dia, kakak nggak mau kan kalau nanti kakak menyesal. Kakak nggak mau kan menangis karena ternyata dia nggak seperti yang kakak duga. Udahlah, kak.”
“Nadia...” aku berusaha menenangkan diri, menjaga agar emosiku tetap terkendali.
“Kak, mau aku sebutin satu-satu keburukan dia? Dia itu pemakai, perokok, pemabuk, anak geng motor, masih banyak reputasi dia yang nggak kita tau. Kakak mau percaya gitu aja sama dia? Kakak itu bodoh atau lugu sih? Seharusnya kakak tuh mikir, jangan nerima omongan dia mentah-mentah. Maaf ya, kak, kalau aku ngomong kasar, tapi menurut aku kakak udah kelawat lugu, sekarang kakak terkesan bodoh. Makanya...” Nadia menatapku kesal.
Aku berdiri di depan Nadia, “Nadia! Cukup! Kamu nggak berhak ngomong kaya gitu! Kamu nggak berhak menghina dia, atau pun menghina kakak. Kakak ini kakak kamu, mana sopan santun kamu?” aku benar-benar merasa kesal dengan ucapan Nadia. Apa yang diucapkan Nadia, menurutku sudah sangat kelewatan. Tidak sepantasnya diabicara seperti itu.
“Aku ngomong kaya gini karna aku masih menghormati kakak, aku peduli sama kakak. Kalau aku nggak peduli, aku nggak akan ngomong kaya gini. Aku akan diam saja apapun yang kakak lakukan, tapi karna aku peduli aku bicara. Kakak, jangan menutup mata dan telinga. Lihat kenyataan.” Nadia berdiri menghadapku. Wajahnya memerah, tandanya dia sudah benar-benar marah. Aku rasa dia mencoba menahan emosinya agar tidak membentakku.
“Kakak tau apa yang harus kakak lakukan, kamu nggak perlu mendikte kakak kaya gitu, kakak bukan anak kecil lagi! Dan kamu juga bukan mama yang berhak melarang kakak melukukan apapun! Kamu tau apa soal hidup kakak? Kamu cuma anak kecil yang sok tau. Kamu nggak usah ikut campur urusan kakak lagi, kamu urus aja urusan kamu sendiri!” aku membentak Nadia. Aku merasa kesal dengan sikapnya yang mengatur hidupku, cukup mama saja yang bersikap seperti itu. Aku tidak ingin hidupku diatur oleh anak kelas satu SMA yang tak tau apa-apa.
“Aku memang bukan mama, dan aku cuma anak kecil dimata kakak! Aku tau itu, tapi kakak juga nggak berhak ngomong kaya gitu sama aku! Pokoknya aku sudah ngasih tau kakak. Aku sudah ingetin kakak, jangan sampai nanti kakak kenapa-kenapa. Aku nggak akan ikut campur lagi. Aku emang cuma anak kelas satu SMA yang nggak tau apa-apa!” Nadia melempar bantal kursi dengan kasar, kemudian meninggalkanku sendirian.
Aku menatap kepergian Nadia hingga dia menghilang, kemudian aku duduk dikursi. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku tak percaya semuanya jadi berantakan seperti ini, karena masalah ini, aku dan Nadia harus bertengkar. Aku tak bermaksud untuk membentak dia, tapi aku sudah tak bisa mengontrol emosiku. Aku tau apa yang dikatakan Nadia mungkin ada benarnya, tapi... aku tak tau. Aku tak bisa berpikir jernih. Apa yang harus kulakukan sekarang? Jika keluargaku menyuruhku menjauhinya apa yang sebaiknya kulakukan? Aku tak ingin membuat Mama kesal, tapi aku juga tak bisa meninggalkan Rae sendirian. Aku memejamkan mata berharap mendapatkan solusinya.
# # #
Aku sering melihatnya dari jendela kamar saat dia berjalan melawati rumahku. Setiap kali kami berpapasan dia tak pernah menyapaku, aku pun tak menyapanya. Bukan karna aku sombong, tapi aku agak takut padanya. Aku dengar dari tetangga, dia suka keluar malam untuk balapan motor, dan gosipnya dia pemakai, aku tidak tau apa berita itu benar atau tidak, aku tidak pernah berniat bertanya padanya. Saat sore hari aku sering duduk di taman kompleks rumah, dan aku pun sering melihatnya keluar rumah naik motor besarnya. Kami tetangga, walaupun rumah kami tidak bersebelahan. Kadang aku merasa dia suka melihatku saat aku duduk di taman. Walaupun aku tidak pernah memergokinya. Sore ini untuk pertama kalinya, aku melihatnya duduk di taman tempat biasa aku duduk. Aku tidak tau kenapa dia tiba-tiba duduk di sana.
Hari ini sama seperti kemarin, aku melihatnya lagi duduk di taman di tempat biasa aku duduk. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke taman. Aku tidak rela dia duduk di bangku favoritku, walaupun bangku itu bukan milikku, tetap saja aku merasa bangku itu sudah menjadi milikku, karna seringnya aku duduk di sana. Bangku itu berada di bawah pohon besar, dan dari sana aku bisa melihat anak-anak yang sedang bermain.
Ini hari ketiga aku melihatnya duduk di taman. Dia masih duduk di bangku favoritku. Aku tidak mengerti kenapa dia tidak duduk di bangku lain, kenapa harus di bangku favoritku? Aku menunggunya pergi. Tapi sampai matahari terbenam pun, dia belum pergi.
Hari ini, tepat seminggu sudah aku melihatnya di taman. Dia masih di sana, di bangku favoritku. Dengan kesal aku pergi ke taman. Aku tidak peduli kalau di ada di sana, itu bangkuku, jadi aku berhak duduk di sana. Aku duduk di pinggir bangku yang berlainan dengannya. Aku melihatnya sedang menunduk, mungkin dia sedang tidur. Aku harap begitu, karna aku tidak ingin di ganggunya. Seperti biasa saat aku sedang duduk di bangku favoritku, aku menatap anak-anak yang sedang bermain di taman. Tiba-tiba aku mendengar suara seseorang, aku menengok.
“Apa?” tanyaku.
“Sekarang jam berapa?” tanyanya.
“Kau bertanya pada siapa? Aku?” aku tidak yakin apakah dia bertanya padaku atau tidak, karna sebelumnya kami tidak pernah bicara.
“Adakah orang lain yang duduk di sini selain kau dan aku?” tanyanya lagi.
“Tidak,” jawabku.
“Kalau begitu aku bertanya padamu.”
“Oh.. Sekarang jam setengah lima,” ucapku sambil melirik jam tangan yang kupakai.
Hening, tak ada yang bicara. Aku kembali menatap anak-anak yang sedang bermain. Sepertinya makin banyak anak-anak yang bermain di taman. Dan sekarang mereka tidak sendiri, ada pengasuh mereka yang berdiri tidak jauh dari mereka.
“Kau orang yang sering duduk di sini?” tiba-tiba dia bertanya padaku.
“Hah? Apa?” aku tidak mendengar jelas apa pertanyaannya.
“Kau orang yang sering duduk di sini? Di bangku ini?” tanyanya lagi.
“Ya, benar. Memangnya kenapa?” sudah kuduga, dia pasti tidak mengenalku. Buktinya saat dia bertanya tadi dia tidak menyebut namaku.
“Sepertinya kau sudah lama tidak ke sini. Hmm.. Seminggu, benar tidak?” ya ampun, apakah dia menghitung berapa hari aku tidak datang ke taman?
“Mungkin, aku tidak tau. Aku tidak menghitungnya.” Ucapku sambil tetap menatap ke depan.
“Kenapa tidak pernah datang lagi? Sibuk?”
“Begitulah.” Jawabku. Aku meliriknya, aku heran dengan sikapnya. Apakah dia tidak capek menunduk terus? Aku tidak berani menatapnya lama-lama, aku tidak ingin dia memergoki ku sedang menatapnya.
Setelah itu tidak ada percakapan lagi di antara kami. Hari semakin sore, matahari mulai terbenam. Aku meliriknya, dia sudah tidak menunduk lagi, dia menatap kedepan, tapi sepertinya dia tidak sedang menatap ke depan, karna matanya terpejam. “Kenapa?” tiba-tiba dia bertanya padaku.
Aku langsung memalingkan wajah, “Tidak, tidak kenapa-kenapa.” Apakah dia sadar aku sedang menatapanya?
Aku menatap langit, sepertinya sudah waktunya aku pulang. Taman sudah sepi. Aku meliriknya sekilas, sepertinya dia belum mau pulang. “Kau tidak pulang?” aku bertanya padanya.
“Belum. Memangnya di sini sudah gelap?”
“Belum. Tapi sebentar lagi gelap. Lagipula di sini sudah sepi.”
“Kalau kau ingin pulang, pulang saja. Aku masih ingin menikmati kegelapan. Aku ingin bersahabat dengan kegelapan.”
Aku tidak mengerti ucapannya. Apa maksudnya? Aku menghela nafas, sudahlah aku tidak peduli. Kalau dia masih ingin di sini silahkan saja. Aku melangkah meninggalkan taman.
“Kalau boleh aku tidak ingin bersahabat dengan kegelapan.” Sayup-sayup aku mendengarnya. Apakah dia yang mengatakannya? Aku tidak tau.
# # #
“Lia, apakah hari sudah gelap?”
“Lia.. Lia..”
Sepertinya ada yang memanggilku. Aku menengok “Hah? Apa? Kau barusan bicara padaku?”
“Kau sedang melamun ya? Apa yang kau pikirkan?” dia tersenyum padaku.
“Tidak, aku tidak melamun. Aku hanya sedang mengingat sesuatu.” Aku suka saat dia tersenyum padaku. Membuatku merasa dia baik-baik saja.
“Hmm.. Kau ingat pertemuan pertama kita, di taman ini? Mungkin bukan pertemuan pertama, lebih tepatnya pembicaraan kita yang pertama. Rasanya sudah lama sekali sejak saat itu. Sudah berapa lama? Setahun?” Kadang aku merasa dia seperti bisa membaca pikiranku, seperti saat ini.
“Ya, aku ingat. Hal yang sangat mengejutkan, tiba-tiba kau berbiacara padaku, padahal sebelumnya kita tidak pernah saling menyapa.” Sudah satu tahun sejak pembicaraan pertama kami di taman ini. Sejak saat itu, kami sering bicara di sini, di bangku favoritku. Bangku ini seperti menjadi tempat milik kami, bukan milikku saja.
Aku menatapnya. Aku tidak tau, apakah aku harus merasa kasihan padanya atau tidak. Dia tidak mau aku merasa kasihan padanya, karna itu membuatnya kesal, di kasihani adalah yang sangat di bencinya. Tapi aku tidak bisa merasa tidak kasihan, aku peduli padanya, aku juga ingin melihatnya sebagai laki-laki yang normal. Tapi sulit rasanya melihatnya sebagai laki-laki normal, dengan kenyataan seperti ini, dengan ke cacatannya.
Ku pejamkan mata dan ku menerawang jauh, semua ini seperti mimpi, aku dapat melihat semua yang telah terjadi selama satu tahun ini seperti ada di depan mataku, semuanya berlalu dengan cepat, ada hal yang ingin ku ingat, ada juga hal yang ingin ku simpan rapat di sudut hati, jika bisa ku ingin menghapusnya dari ingatan ku.
“Banyak hal yang sudah terjadi selama satu tahun ini. Aku senang karna kau masih mau duduk di samping ku, mau mendengarkan aku, mau menemaniku. Aku bukan orang baik, dan aku bukan orang normal. Kadang aku heran kenapa kau masih mau menemaniku? Aku tidak pernah berharap suara ku di dengar orang lain, memangnya aku ini siapa? Siapa yang mau mendengarkan orang yang cacat seperti ku? Aku memang pesimis, jangan pernah menasehati ku tentang hal itu. Aku lebih tau rasanya pustus asa di banding kau.” Suaranya bergetar saat dia bicara, pasti banyak hal yang ingin di katakannya tapi tidak ia katakan. Aku kesal dengan ucapannya. Apakah hanya dia saja yang pernah merasa pesimis dan putus asa, aku yakin semua orang di dunia ini pasti pernah merasakannya.
“Aku memang tidak ingin menasehatimu, terserah kau saja. Aku malas berdebat denganmu.” Aku memalingkan wajah. Aku menarik nafas dan menghembuskannya, berusaha membuat diriku tenang. Aku malas berdebat dengan orang lain di saat diriku sedang kesal.
Hari sudah gelap, sebentar lagi malam tiba. Aku bangkit berdiri. “Sudah gelap, aku mau pulang. Kau masih mau di sini? Masih mau mencoba bersahabat dengan kegelapan?”
“Ya, aku masih mau di sini, aku masih ingin mencoba bersahabat dengan kegelapan. Kalau kau mau pulang, pulang saja.”
“Sampai kapan kau mau membenci kegelapan? Padahal kegelapan yang selalu menemanimu.” Dia diam tapi aku yakin dia kesal dengan ucapanku. Aku tidak peduli, walaupun aku kasihan padanya, tapi kadang aku juga benci padanya, benci pada sikapnya yang lari dari kenyataan. Walaupun sakit, cobalah untuk menerima kenyataan. “Selama kau masih lari, kau tidak bisa melihat apapun.”
“Memangnya apa yang bisa aku lihat? Kegelapan? Jangan jadi orang munafik dan jangan sok menasehatiku.”
“Banyak hal yang dapat kau lihat, tanpa matamu kau dapat melihat dunia. Bukan hanya kau yang tak bisa melihat, banyak orang di dunia ini lahir bersama kegelapan, namun mereka masih bisa melihat dunia, lewat cara mereka sendiri. Semuanya tergantung padamu. Menerima kegelapan itu atau terus membencinya.” Aku meninggalkannya dalam kegelapan malam.
# # #
Malam sudah semakin larut, namun belum kurasakan rasa kantuk datang. Sudah beberapa kali kucoba memejamkan mata, namun aku masih tetap terjaga. Kulirik jam dinding yang tergantung dikamar, jam 23.17. aneh, tidak biasanya aku masih terjaga hingga selarut ini. Kutatap langit-langit kamar, putih. Hanya warna putih yang kulihat. Aku termenung, pikiranku teringat kejadian sore tadi. Mungkin ucapanku sore tadi terlalu kejam, siapa pun yang kehilangan penglihatannya secara tiba-tiba pasti sangat sedih dan shock. Namun, kita juga tidak bisa pasrah pada keadaan, karena banyak orang yang kehilangan penglihataannya namun bisa bangkit dan sukses. Tapi jika kita tidak mengalaminya sendiri, tidak akan tau bagaimana rasanya.
Kadang aku berfikir, jika aku yang kehilangan penglihatanku apa aku bisa menerima keadaan? Apa aku akan mencoba untuk lari dari kenyataan? Mungkinkah aku akan lebih memilih mati daripada hidup tanpa bisa melihat? Apakah aku sanggup bertahan hidup seperti itu? Sampai kapan? Aku tak tau. Apapun bisa terjadi secara tiba-tiba jika aku tak bisa melihat. Mungkin aku akan lari dan menyalahkan keadaan. Orang-orang bilang hidup itu kejam, namun Dia tidak akan memberi cobaan yang tidak bisa ditanggung hamba-Nya.
Jadi walaupun Rae deperesi karena tak bisa melihat, walaupun dia membenci kenyataan dan menyalahkan keadaan, dia masih bisa menanggungnya. Masih bisa bertahan. Lalu bagaimana dengnanku? Apa aku bisa?
Hentikan! Pikiranku sudah ngelantur kemana-mana. Aku tak bisa dan tak ingin membayangkan jika aku tak bisa melihat lagi. Aku coba memejamkan mata, hitam pekat yang kulihat. Aku membuka mata, pikirankumasih terbayang dengan kemungkinan yang terjadi denganku jika aku kehilangan penglihatan. Aku memejamkan mata, mencoba mengenyahkan pikiran-pikran yang mengganggu. Aku membaca doa berharap aku segera terlelap.
# # #
“Kamu nggak sekolah? Ini sudah siang, cepet bangun. Sudah mau jam 5,” mama menepuk badanku berusaha membangunkanku.
“Cepet bangun nanti kamu kesiangan.” Aku menggeliat, berusaha membuka mata. Perlahan kubuka mata, kulirik jam dinding di kamar, jam 04.40. Belum jam lima, sepeluh menit lagi deh, pikirku.
“Lia, kamu mau shalat jam berapa? Emang kamu nggak sekolah?” Mama menarik selimutku.
“Hari ini hari sabtu, ma. Aku nggak sekolah.” Kupenjamkan mata, berusaha tidur kembali.
“Lia! Mama hitung sampai sepuluh, kalau kamu nggak bangun, mama siram kamu!”
“1, 2, 3, 4, 5, 6,7, 8...” aku segera bangun, namun belum beranjak ke kemar mandi.
“Lia!” aku segera bangkit berdiri dan masuk kamar mandi.
# # #
Suaru tv yang pertama kali kudengar saat aku turun ke bawah, ke ruang keluarga. Rumahku tingkat dua, kamarku dan adikku berada dilantai dua, sedangkan orangtuaku kamarnya dibawah. Ruang keluarga di rumah ini menyatu dengan dapur dan ruang makan. Ku lihat mama sedang memasak di dapur. Aku menghampiri papa yang sedang menonton tv.
“Kamu sudah shalat?” papa melirik ke arahku sekilas.
“Sudah, pa.”
“Sekolah kamu gimana?”
“Baik-baik aja.”
“Hmmm....”
Kaku, itulah yang kurasakan setiap kali berbicara dengan papa. Papa termasuk orang yang kaku. Diam, tidak banyak bicara, sibuk bekerja, mungkin karena itulah biasanya obrolan diantara kami hanya obrolan basa-basi, lagipula aku tidak dekat dengan papa. Rasanya aneh saja jika harus memulai pembicaraan dengan papa.
“Lia, tahun ini usiamu berapa?”
“Tujuh belas, pa.” Lihatlah, bahkan papa tidak hafal usia anaknya. Inilah papaku.
“Berarti sudah kelas tiga ya?”
“Iya, pa.” Mungkin karena kami sama-sama kaku, karena itu tak banyak obrolan diantara kami. Aku menghela nafas.
“Lia, kamu sudah besar, sudah kelas tiga SMA, tidak lama lagi kamu kuliah. Sudah seharusnya kamu bisa membedakan yang baik dan buruk, sudah bisa bersikap baik, sudah bisa bijak memilih teman pergaulan.” Aku diam mendengarkan. Aku tidak tau apa yang sebenarnya ingin Papa katakan.
Aku melirik Papa yang matanya tetap tertuju ke tv. Seperti inikah komunikasi antara ayah dan anak? Bukankan saat komunikasi seharusnya saling menatap? Aku menghela nafas. Tiba-tiba Papa menengok ke arahku. Kami saling bertatapan. Rasanya aneh, ada rasa senang, sedih, semuanya bercampur. Senang karena papa menatapku saat kami bicara dan sedih karena mata itu menatapku seperti ada beban berat yang harus di tanggungnya. Aku menundukkan kepala, tak berani menatap Papa.
“Papa cuma minta sama kamu dan adikmu, kalian sudah besar, pergaulan harus dijaga. Kalian itu wanita, kalau ada apa-apa dengan kalian Papa dan Mama juga akan menanggung bebannya. Papa tidak ingin kamu menyesal nantinya. Jaga pergaulan kamu, jangan keluar malam, kamu masih muda belum saatnya dekat dengan laki-laki, berteman saja boleh, tapi jangan lebih dari itu. Papa tidak melarang kamu bergaul, tapi tolong hati-hati dan pilih temang yang baik.” Papa diam, suaranya terasa berat. Rasanya aku ingin menangis, Papa tidak pernah meminta apapun dariku. Aku diam, tetap menundukkan kepala.
“Usiamu sebentar lagi tujuh belas tahun. kamu ini seorang kakak, seorang kakak akan menjadi contoh bagi adiknya. Kalau kamu bisa memberikan contoh yang baik, adikmu juga akan mencontohnya. Karena itu, Papa harap mulai sekarang kamu bisa bersikap dewasa dalam hal apapun, dalam pergaulan, pendidikan, kehidupan sehari-hari dan yang lainnya. Lia?”
Aku mendongak menatap Papa. Papa sedang menatapku, “Iya, Pa.” Aku menatap Papa, kemudian menundukkan kepala.
“Papa dan Mama menyekolahkan kamu dan adikmu agar saat kalian dewasa kalian punya bekal hidup. Papa harap, Papa bisa menyekolahkan kalian sampai kalian S2 nanti. Kalau Papa dan Mama sudah tua, tidak ada lagi orang yang akan mebantu kalian, karena itu selama Papa dan Mama masih mampu menyekolahkan kalian, sekolahlah yang tinggi, kamu juga harus serius sekolah. Mencari uang tidak mudah sekarang.” Papa menghela nafas, masih tetap menatapku, membuatku tak berkutik.
“Papa bicara seperti ini bukan berati Papa memaksamu sekolah sampai S2, atau harus berprestasi di sekolah. Yang Papa harapkan kamu serius belajar, tidak malas-malasan. Saat ini banyak orang yang sarjana S1, tapi banyak yang tidak mendapatkan pekerjaan, kalau kamu bisa S2, kamu punya sesuatu yang lebih dari mereka. Jangan jadikan ini beban, tapi jadikan ini semangat agar kamu bisa berbuat yang terbaik. Papa tau ini berat, tapi tidak ada kesuksesan tanpa ada usaha dan kerja keras. Papa percaya kamu pasti bisa.” Papa menghela nafas panjang, seperti beban berat sudah terangkat dari pundaknya. Papa bangkit kemudian pergi.
Rasanya kini ada beban yang menghimpit, membuat sesak. Tidak biasanya Papa bicara seperti ini, apa karena hal itu? Aku mengerti bila Papa berharap banyak padaku, tapi tetap saja rasanya berat sekali, seperti ada beban dipundak. Aku berharap semoga bisa memenuhi keinginan orang tuaku, dan masalah itu cepat selesai. Semoga mereka tidak marah padaku karena hal itu. Aku hanya bisa berharap. Yah, semoga saja.
# # #
“Kak, lagi ngeliatin apa sih? Kok serius banget?” tiba-tiba adikku, Nadia sudah duduk di sampingku. Aku sedang duduk dihalaman belakang rumah yang dipenuhi dengan tanamanan-tanaman Mama.
Aku menongek kearahnya, menatapnya kesal, “Lagi mikir. Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa. Lagi mikir apa sih, kak? Bagi-bagi dong.”
“Kamu tuh gimana sih, mana bisa pikiran dibagi-bagi.” Aku mencoba mengalihkan pandangan. Memandang tanaman yang berada didepanku.
“Maksud aku tuh kak, cerita-cerita dong. Kali aja aku bisa kasih pendapat. Kakak tuh gimana sih, masa pinteran aku daripada kakak.”
Aku menatapnya kesal. Ingin sekali aku memukul kepalanya dengan bantal kursi. Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Kenapa sih kak, menghela nafas gitu? Kepanasan? Mau aku kipasin?”
Aku benar-benar kesal. Aku memolotinya. “Bisa nggak kamu diam?”
“Nggak bisa.”
Aku tak tau apa yang harus kulakukan agar adikku ini diam. Nadia anak yang tak bisa diam, dia akan selalu mengomentari hal apapun yang ingin dikomentarinya, tidak peduli tempat, waktu dan suasana saat itu.
“Kak...”
“Hmm...”
“Lagi mikirin dia ya?” Nadia memainkan bantalan kursi yang dipeluknya.
Aku menatapnya tak mengerti, “Mikirin siapa?”
“Siapa lagi? Soulmate kakak. Orang yang suka duduk-duduk ditaman bareng sama kakak. Lagi mikirin dia kan? Ngapain juga dipikirin?” ada nada ketus dalam ucapannya.
“Sok tau kamu, dia bukan soulmate kakak.”
“Kakak suka sama dia?”
Aku tak mengerti apa yang ada dipikiran anak kelas satu SMA ini. “Enggak, kita cuma teman.”
“Aku nggak ngerti kenapa kakak bisa duduk-duduk di taman bareng sama dia selama setahun ini. Hujan, badai, terik sekalipun kakak nggak pernah absen tuh.”
“Aku nggak pernah duduk di taman saat hujan apalagi badai.” aku tak segila itu, duduk di bangku taman yang tak berpayung di bawah pohon besar saat hujan dan bagai. Aku belum mau mati hangus terbakar.
“Terus kenapa kakak mau duduk di sana sama dia selama setahun ini? Kakak kasihan sama dia, simpati atau kakak memang suka dia? Nggak mungkin kakak mau nemenin dia ngobrol selama ini tanpa ada perasaan apapun.”
Kasihankan aku padanya? Simpati? Atau apakah menyukainya? Mungkin lebih tepat jika aku merasa kasihan dan simpati padanya, walaupun banyak orang yang tak percaya padanya, tapi aku yakin dia sudah berubah. Yakin? Mungkinn lebih tepat jika aku mencoba merasa yakin. Yah, mencoba. Selalu ada yang pertama kali bukan?
“Kak, bukannya aku mau ikut campur, tapi aku nggak mau kalau kakak terpengaruh sama dia. Kakak tau kan reputasi dia, dia bukan orang baik, kak. Makanya mama nggak setuju kalau kakak terlalu dekat sama dia.”
Aku tau sulit untuk merubah pandangan seseorang, tapi semua orang bisa berubah. “Nad, kakak tau dia dulu bukan orang baik, tapi sekarang keadaannya sudah berubah. Dia kehilangan penglihatannya, dia butuh teman.”
“Tapi orangnya nggak harus kakak, kan. Dia punya banyak temen, kenapa nggak mereka aja yang menemani dia, kenapa harus kakak. Kakak tuh baru kenal dia, bagaimana kalau dia macam-macam. Kita kan nggak tau.”
“Kamu bisa liat sendiri, apakah ada orang yang menemani dia selain kakak? Nggak ada. Mungkin dia dulu bukan orang baik, tapi semua orang bisa berubah. Dia juga bisa berubah. Apa salah kalau kakak berteman sama dia? Kakak cuma ingin menyemangati dia. Kalau bukan kita Nad, siapa lagi yang akan menyemangati dia. Dia tetangga kita, sudah seharusnya kita bantu.” Aku mengerti kenapa Nadia seperti ini, sama seperti Mama, melarangku terlalu dekat dengan Rae. Aku mengerti mereka menghawatirkanku, tapi tak perlu seperti ini juga.
“Kak, yang namanya berubah itu nggak gampang, butuh proses dan waktu. Memangnya kakak tau dari mana kalau dia sudah berubah? Kakak liat perubahan dia? Bagaimana kakak tau dia sudah berubah apa belum, kalau kakak baru mengenalnya. Waktu satu tahun untuk mengenal seseorang memang bukan waktu yang sebentar, kak. Tapi bisa ajakan dia membohongi kakak, didepan kakak pura-pura baik.”
“Nad, udahlah.”
“Kak, aku ngomong kaya gini demi kebaikan kakak. Kita nggak kenal dia, kita nggak tau kayak apa dia, kakak nggak mau kan kalau nanti kakak menyesal. Kakak nggak mau kan menangis karena ternyata dia nggak seperti yang kakak duga. Udahlah, kak.”
“Nadia...” aku berusaha menenangkan diri, menjaga agar emosiku tetap terkendali.
“Kak, mau aku sebutin satu-satu keburukan dia? Dia itu pemakai, perokok, pemabuk, anak geng motor, masih banyak reputasi dia yang nggak kita tau. Kakak mau percaya gitu aja sama dia? Kakak itu bodoh atau lugu sih? Seharusnya kakak tuh mikir, jangan nerima omongan dia mentah-mentah. Maaf ya, kak, kalau aku ngomong kasar, tapi menurut aku kakak udah kelawat lugu, sekarang kakak terkesan bodoh. Makanya...” Nadia menatapku kesal.
Aku berdiri di depan Nadia, “Nadia! Cukup! Kamu nggak berhak ngomong kaya gitu! Kamu nggak berhak menghina dia, atau pun menghina kakak. Kakak ini kakak kamu, mana sopan santun kamu?” aku benar-benar merasa kesal dengan ucapan Nadia. Apa yang diucapkan Nadia, menurutku sudah sangat kelewatan. Tidak sepantasnya diabicara seperti itu.
“Aku ngomong kaya gini karna aku masih menghormati kakak, aku peduli sama kakak. Kalau aku nggak peduli, aku nggak akan ngomong kaya gini. Aku akan diam saja apapun yang kakak lakukan, tapi karna aku peduli aku bicara. Kakak, jangan menutup mata dan telinga. Lihat kenyataan.” Nadia berdiri menghadapku. Wajahnya memerah, tandanya dia sudah benar-benar marah. Aku rasa dia mencoba menahan emosinya agar tidak membentakku.
“Kakak tau apa yang harus kakak lakukan, kamu nggak perlu mendikte kakak kaya gitu, kakak bukan anak kecil lagi! Dan kamu juga bukan mama yang berhak melarang kakak melukukan apapun! Kamu tau apa soal hidup kakak? Kamu cuma anak kecil yang sok tau. Kamu nggak usah ikut campur urusan kakak lagi, kamu urus aja urusan kamu sendiri!” aku membentak Nadia. Aku merasa kesal dengan sikapnya yang mengatur hidupku, cukup mama saja yang bersikap seperti itu. Aku tidak ingin hidupku diatur oleh anak kelas satu SMA yang tak tau apa-apa.
“Aku memang bukan mama, dan aku cuma anak kecil dimata kakak! Aku tau itu, tapi kakak juga nggak berhak ngomong kaya gitu sama aku! Pokoknya aku sudah ngasih tau kakak. Aku sudah ingetin kakak, jangan sampai nanti kakak kenapa-kenapa. Aku nggak akan ikut campur lagi. Aku emang cuma anak kelas satu SMA yang nggak tau apa-apa!” Nadia melempar bantal kursi dengan kasar, kemudian meninggalkanku sendirian.
Aku menatap kepergian Nadia hingga dia menghilang, kemudian aku duduk dikursi. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Aku tak percaya semuanya jadi berantakan seperti ini, karena masalah ini, aku dan Nadia harus bertengkar. Aku tak bermaksud untuk membentak dia, tapi aku sudah tak bisa mengontrol emosiku. Aku tau apa yang dikatakan Nadia mungkin ada benarnya, tapi... aku tak tau. Aku tak bisa berpikir jernih. Apa yang harus kulakukan sekarang? Jika keluargaku menyuruhku menjauhinya apa yang sebaiknya kulakukan? Aku tak ingin membuat Mama kesal, tapi aku juga tak bisa meninggalkan Rae sendirian. Aku memejamkan mata berharap mendapatkan solusinya.
# # #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar